Kota Tua-Museum Fatahillah
Kami mendapat tugas
dari bu Meti Nurhayati dengan mata kuliah Ilmu Budaya Dasar, untuk mengunjungi
salah satu museum yang berada di wilayah JABODETABEK untuk mengetahui sejarah-sejarah
yang terdapat
dimuseum tersebut.
Kelompok kami beranggotakan lima orang yaitu, Fina Triani Sakti, Napsiah, Nur
Shandi Setiani, Riqqoh Ambrani, dan Vicka Yudesti Ilna. Kami memilih untuk
mengunjungi Museum Fathilah yang berada di Kota Tua yang teletak di Jakarta.
Kami akan menceritakan pengalaman kami dari awal perjalanan hingga kami pulang
kembali. Kami berkumpul di kampus Universitas Gunadarma kampus D pukul 11.00
lalu kami berangkat menaiki kereta commuter line dari stasiun Pondok Cina. Kami
membeli tiket Stasiun Pondok Cina-Stasiun Jakarta Kota harian seharga 16 untuk harga pulang pergi
dimana 10 ribunya akan dikembalikan setelah tiba kembali di stasiun Pondok Cina
karna itu merupakan harga jaminan kartu tersebut. Perjalanan sekitar satu jam.
Setibanya di stasiun Jakarta
Kota, kami berjalan kearah Kota Tua melalui pintu keluar. Setelah sampai di
Kota Tua kami membeli tiket untuk memasuki museum Fatahillah seharga Rp
5000/orang. Setelah kami membeli tiket kami memasuki museum tersebut, tidak
lupa kami mengganti alas kaki kami menggunakan sandal jepit yang telah disediakan
oleh pihak museum tersebut dengan tujuan agar museum tetap terjaga
kebersihannya.
Kami berkeliling
didalam museum tersebut, museum ini juga memiliki
sejarah.
Sejarah Museum
Fatahillah
Pada tahun 1937, Yayasan Oud Batavia
mengajukan rencana untuk mendirikan sebuah museum mengenai sejarah Batavia,
yayasan tersebut kemudian membeli gudang perusahaan Geo Wehry & Co yang
terletak di sebelah timur Kali Besar tepatnya di Jl. Pintu Besar Utara No. 27
(kini museum Wayang) dan membangunnya kembali sebagai Museum Oud Batavia.
Museum Batavia Lama ini dibuka untuk umum pada tahun 1939.
Pada masa kemerdekaan museum ini berubah menjadi Museum
Djakarta Lama di bawah naungan LKI (Lembaga Kebudayaan Indonesia) dan
selanjutnya pada tahun 1968 ‘’Museum Djakarta Lama'’ diserahkan kepada PEMDA
DKI Jakarta. Gubernur DKI Jakarta pada saat itu, Ali Sadikin,
kemudian meresmikan gedung ini menjadi Museum Sejarah Jakarta pada tanggal 30 Maret
1974.
Untuk meningkatkan kinerja dan penampilannya,
Museum Sejarah Jakarta sejak tahun 1999 bertekad menjadikan museum ini bukan sekedar tempat untuk
merawat, memamerkan benda yang berasal dari periode Batavia, tetapi juga harus
bisa menjadi tempat bagi semua orang baik bangsa Indonesia maupun asing,
anak-anak, orang dewasa bahkan bagi penyandang cacat untuk menambah pengetahuan
dan pengalaman serta dapat dinikmati sebagai tempat rekreasi. Untuk itu Museum
Sejarah Jakarta berusaha menyediakan informasi mengenai perjalanan panjang
sejarah kota Jakarta, sejak masa prasejarah hingga masa kini dalam bentuk yang
lebih rekreatif. Selain itu, melalui tata pamernya Museum Sejarah Jakarta
berusaha menggambarkan “Jakarta Sebagai Pusat Pertemuan Budaya” dari berbagai
kelompok suku baik dari dalam maupun dari luar Indonesia dan sejarah kota
Jakarta seutuhnya. Museum Sejarah Jakarta juga selalu berusaha menyelenggarakan
kegiatan yang rekreatif sehingga dapat merangsang pengunjung untuk tertarik
kepada Jakarta dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya warisan budaya.
Gedung Museum Sejarah Jakarta mulai dibangun pada
tahun 1620 oleh Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen sebagai gedung balai
kota kedua pada tahun 1626 (balai kota pertama dibangun pada tahun 1620 di
dekat Kalibesar Timur). Menurut catatan sejarah, gedung ini hanya bertingkat
satu dan pembangunan tingkat kedua dilakukan kemudian. Tahun 1648 kondisi
gedung sangat buruk. Tanah Jakarta yang sangat labil dan beratnya gedung
menyebabkan bangunan ini turun dari permukaan tanah. Solusi mudah yang
dilakukan oleh pemerintah Belanda adalah tidak mengubah pondasi yang sudah ada,
tetapi menaikkan lantai sekitar 2 kaki (56 cm). Menurut suatu laporan 5 buah
sel yang berada di bawah gedung dibangun pada tahun 1649. Tahun 1665 gedung
utama diperlebar dengan menambah masing-masing satu ruangan di bagian Barat dan
Timur. Setelah itu beberapa perbaikan dan perubahan di gedung stadhuis dan penjara-penjaranya
terus dilakukan hingga menjadi bentuk yang kita lihat sekarang ini.
Selain digunakan sebagai stadhuis, gedung ini
juga digunakan sebagai ‘’Raad van Justitie'’ (dewan pengadilan). Pada tahun
1925-1942 setelah aktivitas Balai Kota dipindahkan ke Koningsplein Zuid (Sekarang Jl. Medan
Merdeka No. 8-9, Jakarta Pusat), gedung ini dimanfaatkan sebagai Kantor
Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan pada tahun 1942-1945
dipakai untuk kantor pengumpulan logistik Dai Nippon. Tahun 1952 gedung ini
menjadi markas Komando Militer Kota (KMK) I, lalu diubah kembali menjadi KODIM
0503 Jakarta Barat. Tahun 1968, gedung ini diserahkan kepada Pemda DKI Jakarta,
lalu diresmikan menjadi Museum Sejarah Jakarta pada tanggal 30 Maret 1974.
Seperti umumnya di Eropa, gedung balaikota
dilengkapi dengan lapangan yang dinamakan ‘’stadhuisplein'’. Menurut sebuah
lukisan uang dibuat oleh pegawai VOC ‘'’Johannes Rach”’ yang berasal dari
‘'’Denmark”’, di tengah lapangan tersebut terdapat sebuah air mancur yang
merupakan satu-satunya sumber air bagi masyarakat setempat. Air itu berasal
dari Pancoran Glodok yang dihubungkan dengan pipa menuju stadhuiplein.
Pada tahun 1972, diadakan penggalian terhadap lapangan tersebut dan ditemukan
pondasi air mancur lengkap dengan pipa-pipanya. Maka dengan bukti sejarah itu
dapat dibangun kembali sesuai gambar Johannes Rach, lalu terciptalah air mancur
di tengah Taman Fatahillah. Pada tahun 1973 Pemda DKI Jakarta memfungsikan
kembali taman tersebut dengan memberi nama baru yaitu ‘'’Taman Fatahillah”’
untuk mengenang panglima Fatahillah pendiri kota Jakarta.
Setelah kami selesai
melakukan penelitian, kami tidak lupa untuk ISOMA. Lalu kami pulang dari
Stasiun Jakarta Kota menuju Stasiun Pondok Cina. Kami sampai di Stasiun Pondok
Cina pukul 17.00.
Ada beberapa objke yang kami potret diantaranya :
Dan inilah foto kami di museum Fatahillah
Komentar
Posting Komentar